Minggu, 25 April 2010

Autisme sebagai suatu gangguan perkembangan pervasif

  Komunikasi

1.Jenis "kognitif yang kaku" pada penyandang autisme

  Kesulitan yang mereka hadapi dalam memaknai dan memahami apa yang mereka lihat tercermin dalam ciri utama autisme : gangguan kualitatif dalam perkembangan komunikasi, interaksi sosial dan imajinasi.

1.1 "Gangguan kualitatif" : ekolali sebagai sebuah contoh

  Ciri - ciri autisme tidak boleh dipandang secara absolut. Ekolali (pengulangan kata - kata atau kalimat, segera atau tertunda) sering dikaitkan dengan autisme. Penelitian memang menunjukkan bahwa sebagian besar penyandang autisme muda yang berkemampuan verbal memiliki ciri ekolali. Bagaimana pun, ekolali bukan merupakan ciri autisme yang penting. Dalam perkembangan bahasa yang normal semua anak menunjukkan bentuk - bentuk ekolali. Dalam periode tertentu dalam perkembangan mereka normal saja jika menunjukkan ekolali.

  Orang juga dapat menemukan gejala ekolali di antara anak - anak terbelakang mental tanpa autisme, tapi ekolali disini normal bagi usia mental mereka. Jadi jika ekolali hanya dikaitkan dengan keterlambatan ( aspek kuantitatif ) dalam perkembangan, ini bukanlah gejala autisme. Ekolali hanya bisa dianggap suatu ciri autisme jika muncul pada usia mental yang lebih tinggi. Bagi orang anak penyandang autisme dengan usia mental 5 tahun, tidaklah normal jika masih menunjukkan ekolali. Ini mungkin dianggap sebagai " gangguan kualitatif". 

1.2 Komunikasi dan jenis kognitif yang kaku

  Sebuah studi banding yang dilakukan oleh Menyuk dan Quill (1985) memberikan informasi yang menarik tentang hal ini. Mereka mempelajari perkembangan makna dalam bahasa pada anak - anak yang normal dan anak - anak autistik. (Harus dimengerti di sini dan dalam contoh - contoh lainnya bahwa kita bicara tentang anak - anak dengan tingkat perkembangan tertentu. Contoh ini tidak boleh disamaratakan pada semua anak penyandang autisme). 

  Telah ditunjukkan bahwa, selama tahapan paling awal dalam kemahiran berbahasa, anak - anak normal biasanya membuat kesalahan penyamarataan yang berlebihan. Sebagai contoh, mereka memahami hubungan antara suara, seperti " kursi" dengan benda "kursi". Bagaimana pun dalam jangka waktu pendek, mereka juga memiliki kecenderungan untuk menyebutkan sofa, tempat duduk tanpa sandaran atau bangku dengan "kursi". 

  Sama dengan itu, anak - anak kecil menyebut sebuah benda sebagai "gelas" tapi juga menggunakan kata yang sama untuk cangkir atau gelas kimia dan bahkan botol, karena semua bisa digunakan untuk minum. Setelah itu, mereka menyadari kesalahan itu dan memperbaikinya sendiri. Yang menarik dari kesalahan ini adalah bahwa orang dapat melihat bagaimana pikiran mereka bekerja. Mereka memiliki kecenderungan intuitif untuk terbawa makna dan bukan persepsi ketika mengembangkan pengetahuan. Hal terpenting pada pemahaman mereka terhadap kata " kursi" bukanlah penampilan sebenarnya dari kursi yang terlihat, tapi makna dibaliknya : yaitu sesuatu untuk diduduki.

  Dalam tahap - tahap awal perkembangan bahasa pada anak - anak penyandang autisme, orang tidak menemukan jenis kesalahan ini-sebenarnya, sebaliknya justru sering benar. Seorang anak penyandang autisme memiliki kecenderungan untuk menggunakan suara " kursi" untuk satu kursi tertentu, dengan tinggi tertentu, warna tertentu, dengan empat kaki. Dari sudut pandangnya, tidak masuk akal kalau benda yang lebih besar, dengan warna berbeda atau dengan tiga kaki diberi sebutan yang sama. Pemahaman dasarnya, berdasarkan apa yang dia lihat, terlalu terbatas untuk kemungkinan membuat generalisasi/penyamarataan spontan.

Sumber : buku panduan autisme terlengkap, Theo Peeters 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar