Senin, 28 November 2011

MEMBANDINGKAN APLIKASI

MEMBANDINGKAN PENGGUNAAN FASILITAS

1.Email : Gmail vs Yahoo

Menurut saya secara tampilan layout gmail lebih mudah untuk dipelajari ketimbang yahoo yang agak sulit. Gmail didukung oleh google yang merupakan alat pencari alamat website yang paling sering dipakai orang didunia ini. Dalam Yahoo terdapat berita-berita maupun gosip gosip dan itu dapat dilihat saat pertama kali kita mengakses link yahoo. Dari variasi warna yahoo lebih cerah dibandingkan gmail. Dalam yahoo saat men-download file disana terdapat anti virus. Pada kedua email ini terdapat fasilitas chatting. Kalau dig mail itu bernama G-Talk sedangkan di yahoo bernama Yahoo messanger. Sama – sama memiliki fasilitas perlindungan spam. Dalam kedua applikasi email ini terdapat attachment file tapi terdapat perbedaan isi kalau di Gmail max 20 MB sedangkan di yahoo max 25 MB. Pada yahoo, lay out folder sedikit teroganisir daripada Gmail.

2. Social Network : twitter vs facebook

Facebook sudah terjangkau oleh siapapun. Mulai dari orang tua yang mencari teman sma atau pun teman smp-nya, sampai anak – anak SD yang juga sudah mulai mempunyai account facebook. Dalam pertemanan pada facebook harus mendapatkan konfirmasi terlebih dahulu dari pengguna lainnya, sedangkan dalam twitter pengguna dapat mengikuti pengguna lain tanpa harus ada konfirmasi terlebih dahulu. Dalam facebook kita bisa membuat group ataupun fan page sedangkan di twitter tidak bisa membuat group ataupun fan page. Di twitter kita dapat merubah background sesuka yang mempunyai account tersebut sedangkan di facebook hanya dapat merubah photo profile yang di twitter juga bisa dirubah. Dalam jumlah meng-upload photo facebook bisa lebih banyak dibandingkan twitter. Di facebook terdapat aplikasi game dan terlalu banyak iklan – iklan yang tampil sedangkan di twitter tidak ada aplikasi game maupun iklan – iklan seperti di facebook. Dalam meng-update status twitter lebih dibatasi bila dibandingkan facebook.

3. Instant messaging : BlackBerry messanger vs Whatsapp

Untuk mengaktifkan BBM, itu menggunakan PIN yang tertera dalam handphone sedangkan whatsapp hanya menggunakan nomer telepon untuk mengaktifkannya. Di BBM biasanya banyak orang yang mempromosikan barang atau menjual barang layak seperti dalam facebook tetapi di whatsapp tidak bisa promosi barang jualan. Di BBM bisa membuat group dan di whatsapp juga bisa membuat group yang sama seperti bbm. Keburukan dari bbm orang yang invite bisa melalui bbm group sedangkan di whatsapp tidak. Whatsapp dan bbm sama-sama bisa mengirim photo dan video.

ASPEK PSIKOLOGIS TEKNOLOGI INTERNET

Dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini internet sangatlah membantu untuk segala hal. Mulai dari komunikasi, menjalin pertemanan, serta bertemu dengan kawan lama yang tidak atau susah ditemukan dalam internet kita bisa menemukan orang yang kita cari. Dan penggunaan internet selalu ada pro dan kontra, itu tergantung dari penggunaan masing-masing pihak yang menggunakan internet. Seharusnya dengan kemajuan yang sudah dialami pada zaman sekarang dibandingkan zaman dahulu kita harus bisa memanfaatkannya dengan baik. Dan penggunaan internet yang mudah di pakai oleh semua orang. Dengan mudahnya di jangkau oleh semua orang maka akan muncul pro dan kontra. Karena sudah banyak kejadian – kejadian yang seharusnya tidak terjadi karena keasikan berinternet. Dari anak-anak sampai para orang tua sudah mulai asik berinternetan. Dan seharusnya untuk anak-anak dengan kemajuan ini mereka bisa memanfaatkannya dengan baik. Tetapi karena banyak stimulus-stimulus yang diinternet membuat anak-anak tidak melihat sisi positif dari mereka berinternetan. Mereka asik dengan games yang hanya melatih atau mempengaruhi otak mereka untuk melakukan apa yang lihat dari games tersebut. Dan untuk orang tua juga jangan ketinggalan zaman. Karena anak-anak pada zaman sekarang sudah mulai pintar untuk membohongi orang tua mereka. Dan orang tua harus memberikan pelajaran kepada anak-anak mereka. Sehingga saat menggunakan internet sang anak tidak hanya digunakan untuk bermain games yang kebanyakan dari games tersebut hanya melatih agresi mereka.

Jumat, 13 Mei 2011

TUGAS PSIKOLOGI LINGKUNGAN

1) Apakah stress itu?
 
  Istilah stres dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan – tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stres tidak saja kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antar ketiganya (Prawitasari, 1989). Karena terlalu banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino(1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu stimulus, respons, dan proses

2) Apa kaitan stres dengan psikologi lingkungan?
 
  Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam. Pegandaian kedua adalah bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stres psikologi yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang kontrol, pengaturan ruang dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stres atau tidak.
  Kaitan antara stres dengan psikologi lingkungan adalah sangat erat hubungannya karena dalam psikologi lingkungan membahas tentang kepadatan, kesesakan dan lain sebagainya. Hal tersebut bisa menimbulkan stres terhadap orang yang tidak siap dalam menghadapi berbagai hal. Secara psikologis orang tersebut merasa tertekan dengan adanya kepadatan serta kesesakan.

3) Apakah stres bisa mempengaruhi perilaku individu dilingkungan?dan bagaimana hal itu bisa terjadi dan berikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
 
  Stres bisa mempengaruhi perilaku individu di lingkungannya hal tersebut bisa terjadi karena seseorang yang merasa dirinya sangat tertekan. Contohnya adalah seseorang yang dalam lingkungannya tidak disenangi oleh tetangganya, hal tersebut lama kelamaan akan membuat orang tersebut merasa tertekan dan akan berakibat stres. Contoh lainnya adalah orang yang memakai kendaraan pribadi bisa mengalami stres karena kepadatan dan kesesakan yang terjadi, tidak bisa dipungkiri dengan semakin banyaknya kendaraan pribadi yang lewat dan jalan yang semakin menyempit bisa juga mengakibatkan stres.


Minggu, 08 Mei 2011

Teknologi mempengaruhi tingkah laku seseorang

Teknologi pada zaman sekarang sangatlah maju. Jika dibandingkan dengan masa lalu sangatlah jauh berbeda. Seiring dengan kemajuan teknologi itu sangat membantu manusia dalam segala aspek. Teknologi sangat berperan sekali bagi kehidupan manusia. Dengan teknologi manusia bisa melakukan hal apa saja yang mereka inginkan. Bahkan penjahat sekali pun yang ingin melakukan aksinya sudah banyak melakukan dengan teknologi yang sangat maju begitu pesatnya. Kemajuan teknologi sangatlah banyak sekali misalnya dalam hal komunikasi, pada zaman dulu kalau mau berinteraksi tidak semudah zaman sekarang, yang hanya tinggal menekan beberapa digit nomer kita bisa langsung berkomunikasi dengan orang yang dituju. Tapi pada zaman dulu masih menggunakan surat menyurat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dan masih banyak lagi kemajuan teknologi yang diciptakan oleh manusia.
 Televisi merupakan sebagian kecil dari kemajuan teknologi yang diciptakan oleh manusia. Televisi adalah sebuah benda dimana manusia bisa melihat orang yang berbicara serta melihat orangnya tersebut. Pada zaman dulu tidak banyak orang mempunyai televisi hanya sebagian orang saja yang mempunyai televisi. Dan televii juga merupakan bentuk kemajuan teknologi ketika dulu hanya terdapat radio, penemu dari televisi merasa bosan dengan hanya bisa mendengarkan suara dari penyiar radio. Maka dari itu ia menciptakan suatu benda yang tidak hanya bisa mendengarkan saja tapi juga bisa melihat orang yang berbicaranya.
 Pada awal terciptanya televisi warna yang mucul hanya dua warna yaitu hitam dan putih. Itu bertahan hingga puluhan tahun sampai pada akhirnya televisi pun sudah berubah tidak hanya berwarna hitam dan putih saja. Tidak hanya dari segitu warna yang berubah dari segi bentuk pun mengalami perubahan yang sangat signifikan sekali. Mungkin pada zaman dahulu televisi sangat besar sekarang televisi sudah banyak atau mungkin sudah hampir semua televisi pada zaman sekarang berlayar datar dan bermodel flat.
 Televisi diciptakan untuk membuat orang-orang yang melihatnya merasa jadi terhibur dengan adanya televisi tersebut. Meskipun pada awal-awal kemunculannya hanya mempunyai dua warna. Toh banyak masyarakat yang senang menonton acara di televisi. Sampai sekarang fungsinya tidak berubah yaitu sebagai sarana hiburan. Di Indonesia isi dari tontonan televisinya sangat banyak yang tidak mendidik pada zaman sekarang. Pada zaman dahulu televisi banyak acara yang mendidik. 
 Untuk sekarang ini hanya sedikit atau mungkin tidak ada acara yang bisa mendidik anak-anak. Tontonan anak-anak banyak yang mengajarkan hal-hal yang sangat tidak baik untuk ditonton oleh anak-anak. Banyak kejadian anak-anak menjadi lebih agresif sesudah menonton film-film action yang tidak diawasi oleh orang tua. Maka dari tidak heran bila pada zaman sekarang banyak anak-anak kecil yang sudah berani melawan orang tua, berkelahi dengan teman sepermainnya, memalak, berbohong, dan melakukan hal yang lainnya.
 Dan banyak juga anak-anak yang masih dibawah umur melakukan hal yang tidak wajar dilakukan seusia mereka. Mereka sudah berani melakukan hubungan suami istri terhadap temannya. Mereka bisa melakukan hal tersebut mungkin dari teknologi yang tidak dimanfaatkan secara benar dan kurangnya pengawasan orang tua terhadap anaknya. sehingga seharusnya orang tua juga mesti tahu dengan kemajuan teknologi pada zaman sekarang. seorang anak bisa lebih agresif dengan melihat dan mencontoh apa yang ia lihat. bila tidak diawasi oleh orang tua maka agresif anak semakin menjadi.  


Rabu, 20 April 2011

PRIVASI, PERSONAL SPACE ( RUANG PERSONAL), TERITORIALITAS.

PRIVASI
 
  Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986). 
  Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak-pihak lain dalam rangka menyepi saja. 
  Altman (1975), hampir sama dengan yang dikatakan Rapoport, mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengotrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi ini mengandung beberapa pengertian yang lebih luas. Pertama, unit sosial yang digambarkan bias berupa hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok dan seterusnya. Kedua, penjelasan mengenai privasi sebagai proses dua arah; yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau output dari individu ke pihak lain. Ketiga, definisi ini menunjukkan suatu kontrol yang selektif atau suatu proses yang aktif dan dinamis.
  Dalam hubungan dengan orang lain, manusia memiliki referensi tingkat privasi yang diinginkannya. Ada saat – saat dimana seseorang ingin berinteraksi dengan orang lain (privasi rendah ) dan ada saat-saat dimana ia ingin menyendiri dan terpisah dari orang lain (privasi tinggi). Untuk mencapai hal itu, ia akan mengontrol dan mengatur melalui suatu mekanisme perilaku, yang digambarkan oleh Altman sebagai berikut : 

Perilaku verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal sejauh mana orang lain boleh berhubungan dengannya.
Perilaku non-verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukkan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu sebagai tanda senang atau tidak senang.
Mekanisme kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adapt istiadat, aturan atau norma, yang menggambarkan keterbukaan atau ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah diketahui oleh banyak orang pada budaya tertentu (Altman, 1975;Altman & Chemers dalam Dibyo Hartono, 1986).
Ruang personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi tertentu. Sommer (dalam Altman, 1975) mendefinisikan beberapa karakteristik ruang personal. Pertama, daerah batas diri yang diperbolehkan dimasuki oleh orang lain. Ruang personal adalah batas maya yang mengelilingi individu sehingga tidak kelihatan oleh orang lain.
Teritorialitas
Pembentukan kawasan territorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap.

  Sementara itu Marshall (dalam Holahan, 1982); Sarwono (1992) berusaha membuat alat yang berisi serangkaian pernyataan tentang privasi dalam berbagai situasi (dinamakan Privacy Preference Scale) dan ia menemukan adanya enam jenis orientasi tentang privasi yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu tingkah laku menarik diri (withdrawal) dan mengontrol informasi (control of information). Tiga orientasi yang termasuk dalam tingkah laku menarik diri adalah solitude (keinginan untuk menyendiri), seclusion (keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga serta kebisingan lalu lintas) dan intimacy (keinginan untuk dekat dengan keluarga dan orang-orang tertentu, tetapi jauh dari semua orang lain). Tiga orientasi lain yang termasuk dalam tingkah laku mengontrol informasi adalah anonymity (keinginan untuk merahasiakan jati diri), reserve (keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain) dan not-neighboring (keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga).
  Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar dengan berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain, dengan cara mendekati atau menjauhi. Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu. Menurut Sarwono (1992) privasi adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya.

1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRIVASI

   Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor situasional, faktor budaya.

FAKTOR PERSONAL. Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besar waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy.
FAKTOR SITUASIONAL. Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasaan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
FAKTOR BUDAYA. Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).

2. PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU

   Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sosial. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
   Maxine wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
   Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
   Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh Westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari.
   Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil suatu rangkuman bahwa fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi, pertama privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks di dalam kelompok sosial; kedua, privasi membantu kita memantapkan perasaan identitas pribadi.
PERSONAL SPACE (RUANG PERSONAL)
   Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak sosial antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu lain.
   Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Sommer (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batas-batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak atau daerah disekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkan orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
   Menurut Edward T. Hall, seorang antropog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spasial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, jarak publik. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman, 1975).

TERITORIALITAS

   Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.


ELEMEN-ELEMEN TERITORIALITAS
   Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu :
1. kepemilikan atau hak dari suatu tempat;
2. personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu;
3. hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar dan;
4. pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasaan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.


  Hubungan antara privasi, ruang personal, dan teritorialitas dengan psikologi lingkungan yaitu : berdasarkan pengertian masing-masing dapat disimpulkan bahwa manusia memerlukan privasi untuk dirinya sendiri dan agar orang lain tidak tahu serta manusia membutuhkan ruang personal agar mereka bias terlepas dari kepenatan dan kesesakan dan bias menjadi suatu tempat dimana manusia menarik dirinya dari kerumunan orang sekitarnya serta manusia juga memerlukan teritorialitas yang dimana mereka mempunyai tempat untuk dirinya sendiri.


Sumber : Prabowo, H. 1998. Arsitektur, psikologi dan masyarakat. 


Senin, 28 Maret 2011

kepadatan dan kesesakan

Kepadatan

Pengertian kepadatan

  Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrightsman & Deaux , 1981). Atau sejumlah individu yang berada disuatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik ( Holahan, 1982 ; Heimstra dan Mcfarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya ( Sarwono, 1992). Dari pengertian para tokoh diatas dapat disimpulkan kepadatan adalah sejumlah individu yang berada disuatu ruangan atau wilayah tertentu dan bila jumlah manusia pada suatu ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya maka akan terjadi suatu kepadatan. 
  Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Secara rinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal – hal sebagai berikut: pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah. Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.
  Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci : bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi : bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social : dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas) ? hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan. Dan hal-hal tersebut adalah : 
• Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
• Peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
• Terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks. 

  Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Kategori kepadatan

  Menurut Altman (1975), didalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman.
  Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial ( social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu. 

Akibat-akibat kepadatan tinggi 

   Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain. 
   Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja ( Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).

Akibat secara psikis antara lain : 
• Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres ( Jain, 1987) dan perubahan suasana hati ( Holahan, 1982).
• Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
• Perilaku meolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk., 1984).
• Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
• Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi ( Heimstra dan Mc Farling, 1978; Holahan, 1982).
Kesesakan 

   Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu dimana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.
   Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Pendapat lain datang dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. 
   Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan 

   Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu : personal, sosial, fisik yang akan dibahas satu per satu.
Faktor personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.
Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah : kehadiran dan perilaku orang lain, formasi koalisi, kualitas hubungan, dan informasi yang tersedia.
Faktor fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan didalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah, dan suasana sekitar rumah.

Pengaruh kesesakan terhadap perilaku

  Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan ( Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup ( Freedman, 1973).
  Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang tidak menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap subjek penelitian.



Sumber : Hendro Prabowo, Arsitektur, psikologi dan masyarakat 


Jumat, 25 Maret 2011

Analisis sifat manusia menurut letak geografis dengan dimana dia tinggal

  Berbicara adat istiadat serta kebiasaan orang Betawi sangatlah beragam. Dari banyaknya adat istiadat serta kebiasaan orang Betawi tidak bisa diungkapkan satu per satu karena terlalu beragam adat istiadat tersebut. Dari sekian banyaknya keanekaragaman budaya serta adat istiadat orang Betawi tidak semua bisa diketahui. Dan orang Betawi terkenal dengan ramah terhadap tetangga dan bersikap jujur.

  Orang Betawi juga identik kalau berbicara sering berguyon atau bercanda. Jarang orang Betawi berbicara serius karena orang Betawi senang dengan bercanda. Dan yang khas dari orang Betawi adalah rajin sholat lima waktu serta menggaji setelah sholat maghrib. Dan orang Betawi tidak pernah bahkan tidak ada yang berani melawan orang tua, mereka selalu menuruti apa yang dikatakan oleh orang tua. Tidak pernah membantah apalagi untuk melawannya. Orang Betawi selalu berpegang teguh dengan ajaran islam.

  Salah satu yang khas dari orang Betawi adalah sikap jujurnya yang sangat tinggi kepada siapa saja. Contohnya dalam adegan film “si doel anak sekolahan” dimana ada adegan mas karyo yang diperankan oleh alm. Basuki mencoba mengajari bang Mandra untuk berbohong kepada mak nyak ( ibunya si doel dan mpoknya bang Mandra ). Saat itu bang Mandra memang sangat butuh duit untuk membelikan sesuatu untuk pacarnya tapi uang bang Mandra tidak cukup untuk membelikan barang tersebut. Mas karyo menyuruh bang Mandra untuk mengambil uang dari setoran narik oplet. 

  Tapi disitu bang Mandra merasa ketakutan saat mengasih uang setoran kepada mak nyak. Karena ia telah mengambil beberapa jumlah uang dari hasil setoran tadi untuk membelikan sesuatu kepada pacarnya. Setelah keesokan harinya, karena belum pernah berbuat bohong kepada siapa saja, bang Mandra seperti tidak nyaman dengan uang yang ia ambil. Ia merasa tidak nyaman, tingkah laku aneh seperti orang yang menyimpan sesuatu tapi tidak mau orang lain mengetahuinya. Hingga akhirnya bang Mandra berkata jujur kepada mak nyak bahwa ia pernah mengambil uang setoran. 
 
  Dari contoh tersebut bisa dilihat bagaimana orang Betawi mengutamakan sikap jujur kepada siapa saja. Karena orang Betawi menganggap bahwa kejujuran merupaka salah satu kunci kesuksesan kita dalam menjalani hidup. Dengan kita bersikap jujur maka banyak juga orang yang akan senang dengan keberadaan kita. Maka dari itu kita mesti bisa mencontoh kebiasaan orang Betawi yaitu bersikap jujur. Jangan mencontoh gaya berbicaranya saja yang banyak mengatakan bahwa orang Betawi terkenal dengan berbicara nyablak.

 Selain bersikap jujur, orang Betawi sangat peduli dengan tetangga. Itu ditunjukkan dengan mereka bersikap ramah dengan para tetangga – tetangganya. Selain itu juga peduli akan lingkungan sekitar. Sopan kepada orang yang usianya lebih tua dan saling menghormati. Tidak pernah berbicara kasar dengan orang yang usianya lebih tua. 

 

Senin, 28 Februari 2011

kaitan ilmu matematika dan statistika dengan ilmu psikologi

  Dalam ilmu psikologi tidak hanya mengobservasi perilaku seseorang, tapi dalam psikologi juga tidak terpaku dengan kegiatan mengobservasi perilaku seseorang dan cara penyelesaian permasalahan yang di hadapi oleh seorang klien. Ilmu psikologi juga pasti akan berkaitan dengan ilmu lainnya misalnya dengan ilmu pendidikan, ilmu matematika, dan statistika.
   Berkaitan dengan ilmu matematika dan statistika, dalam dunia psikologi juga diperlukan untuk bahan penelitian yang menggunakan variabel kuantitatif. Statistika sangat diperlukan dalam psikologi saat sedang melakukan penelitian dengan menggunakan variabel kuantitatif. Dalam statistika kita nanti bisa mengukur tentang apa yang akan menjadi bahan penelitian kita bila berkaitan dengan angka - angka.
  Ilmu psikologi pun tidak bisa terlepaskan oleh angka - angka. Banyak orang yang berpikir kalau kita kuliah mengambil jurusan psikologi untuk menghindari hitung - hitungan ternyata salah, malah dalam psikologi terdapat juga hitung-hitungan meskipun tidak terlalu banyak dibandingkan dengan jurusan-jurusan perkuliahan yang lainnya seperti teknik industri, arsitektut, dll. 
   Akan sangat berguna sekali bila kita bisa memahami ilmu statistika, karena dalam bidang ilmu psikologi itu sangat diperlukan sekali. 
  

Sabtu, 26 Februari 2011

LINGKUNGAN MEMPENGARUHI PERILAKU

  Konformitas : Pengaruh kelompok di lingkungan

  Apakah anda pernah menyadari bahwa diri anda sedang berada pada situasi dimana anda merasa bahwa anda tampil mencolok diantara yang lainnya seperti kiasan "ibu jari yang bengkak" ? jika demikian, anda telah memiliki pengalaman langsung mengenai tekanan terhadap konformitas. Konformitas berakar dari kenyataan bahwa di berbagai konteks ada aturan-aturan eksplisit ataupun tak terucap yang mengindikasikan bagaimana kita seharusnya atau sebaiknya bertingkah laku. Aturan-aturan ini dikenal sebagai norma sosial ( social morms), dan aturan-aturan ini sering kali menimbulkan efek yang kuat pada tingkah laku kita.

  Kecenderungan yang kuat terhadap konformitas ini untuk mengikuti harapan masyarakat atau kelompok mengenai bagaimana seharusnya kita bertindak diberbagai situasi, kemungkinan akan muncul dihadapan anda sebagai suatu hal yang tidak dapat disetujui. Konformitas membatasi kebebasan pribadi. Namun, sebenarnya, ada dasar yang kuat berkenaan dengan konformitas:tanpa konformitas kita, akan segera menyadari diri kita berhadapan dengan kekacauan sosial.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas : variabel-variabel yang menentukan sejauh mana kita "ikut serta"

faktor-faktor yang paling penting dalam hal konformitas:

  • kohesivitas dan konformitas : menerima pengaruh dari orang - orang yang kita sukai
  • konformitas dan ukuran kelompok : mengapa yang lebih banyak adalah yang lebih baik jika dikaitkan dengan tekanan sosial
  • norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif : saat norma mempengaruhi atau tidak mempengaruhi tingkah laku
  • pengaruh sosial normatif : keinginan untuk disukai dan rasa takut akan penolakan
  • keinginan untuk merasa benar : pengaruh sosial informasional
  • membenarkan konformitas : konsekuensi kognitif dari mengikuti kelompok.

CONTOH KONFORMITAS

  Pada banyak kasus perokok dikalangan remaja itu dikarenakan lingkungan mereka dan ajakan-ajakan dari teman sebaya mereka. Misalnya si "A" awalnya tidak merokok dan teman-teman si "A" ini merupakan perokok semua. Pada suatu saat si "A" pulang sekolah dan ia sedang mengalami kepenatan pikirannya, sewaktu pulang ia dipanggil oleh teman-temannya untuk nongkrong dulu dan bergabung dengan teman-teman yang lainnya. Awalnya si " A" tidak mau karena ia tau bahwa teman-temannya pada merokok semua, tapi karena sedang mengalami kepenatan si "A" mau bergabung dengan teman-teman yang lainnya. Saat sedang berkumpul dengan teman-teman tersebut ia ditawarkan untuk merokok, kata temannya rokok bisa membuat pikiran tenang bila pikirannya sedang penat. Awalnya ia menolak, tapi karena terus didesak dan didalam dirinya ia ingin membuktikan perkataan temannya tadi akhirnya si "A" mencoba merokok dan menjadi kecanduan hingga akhirnya ia menjadi perokok aktif.

sumber : buku psikologi sosial 2, Robert A. Baron, Donn Byrne

Minggu, 09 Januari 2011

PENANGANAN DAN RELOKASI KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA

Awal Mula Terjadinya Bencana
   Di Yogyakarta, tepatnya pada hari Selasa (26/10) terjadi letusan pada pukul 17.02 WIB. Rupanya Gunung Merapi yang biasanya terlihat tenang dan tidak menunjukkan reaksi apapun, ketika itu meletus dan mengeluarkan awan panas. Awan panas yang terus membumbung tinggi di langit terus muncul tiada berhenti setelah letusan terjadi. Letusan yang terjadi sebanyak 3 kali terdengar jelas dari jarak 1,5 kilometer, yang mengharuskan para pengungsi berpindah posko dengan jarak yang lebih jauh dan lebih aman.
    Awan panas yang merupakan campuran material dari letusan yang berupa gas dan bebatuan dengan suhu sangat tinggi yaitu 300-700 derajat celsius, dengan kecepatan lumpur sangat tinggi, lebih dari 70 km per jam ini akhirnya menelan korban. Ratusan warga meninggal karena menghirup debu dan terbakar lumpur panas yang keluar dari gunung. Mirisnya lagi, tidak hanya menelan korban orang-orang dewasa, namun anak-anak kecil bahkan banyak bayi-bayi yang ikut andil menjadi korbannya.Begitu mencengangkan dan mengharukan.
   Tidak hanya letusan dan semburan awan panas saja, namun hujan abu lebat berisi material batu dan pasir halus menyelumbungi seluruh wilayah ini. Gas racun seperti karbon dioksida (CO), hidrogen sulfida (HS), hidrogen klorida (HCL), sulfur dioksida (SO), dan karbon monoksida (CO) sepertinya akan menjadi teman setia bagi para pengungsi yang masih bertahan untuk menunggu bantuan pemerintah.
   Ribuan warga yang tinggal di lereng gunung yang masih bisa menyelamatkan diri serempak lari berhamburan menjauh dari tempat kejadian. Awan panas yang menyelimuti pemukiman warga rupanya membuat para warga kelagapan dan kebingungan mencari tempat untuk mengungsi. Ditambah lagi dengan himbauan dari kepala pemerinatah setempat yang memerintahkan warga untuk tidak berada di kawasan gunung yang masih rawan.
  Rumah dan harta benda sudah tidak bisa lagi diselamatkan, sanak saudarapun telah pergi meninggalakan mereka, sawah, ladang dan hewan-hewan ternak juga telah mati, musnah dan menimbulkan rasa kehilangan yang teramat sangat.
   Akhirnya para warga terpaksa mengungsi, dan berkumpul disatu tempat dengan orang-orang yang berasal dari berbagai macam tempat. Kelompok pengungsi yang tinggal bersama namun tidak memiliki ikatan antar satu individu dengan individu yang lainnya di dalam Psikologi Kelompok disebut sebagai kelompok non-identitas. Cenderung kurang intesnsif dalam berinteraksi, namun tetap dikatakan sebuah kelompok.

Dampak Meletusnya Gunung Merapi Dilihat dari Beberapa Aspek
1. Aspek Kesehatan
a) Abu gunung yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan
b) Cedera akibat bebatuan gunung
c) Luka bakar karena awan panas yang ditimbulkan
d) Kekurangan air bersih dan makanan mengakibatkan kelaparan dan dehidrasi
e) Kekambuhan atau perburukan penyakit yang sudah diderita para pengungsi
f) Kontaminasi makanan yang mengakibatkan keracunan
g) Asma
h) Gatal-gatal
i) Diare
j) Tetanus

2. Aspek Psikologis :
Masalah selanjutnya dalam pengungsian adalah kondisi psikologis dari korban bencana. Sebagian besar pengungsi mengalami berbagai macam jenis tekanan psikologis akibat bencana tersebut, diantaranya adalah :
a) Stess dengan beragam tingkatan, dari stress ringan sampai stress berat
b) Tertekan di tempat pengungsian, bahkan banyak pengungsi sudah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa
c) Insomnia tingkat ringan sampai berat
d) Tak bisa memahami realitas atau berperilaku kacau
e) Merasa khawatir dengan masa depan
f) Kerusakan jaringan otak
g) Trauma berat
h) Merasa jenuh
i) Ketakutan
j) Kesepian
k) Labil
Masalah-masalah psikologis yang dialami para pengungsi inilah yang mengakibatkan banyak kerugian, dari terhambatnya peluang untuk mengembangkan diri dan ketidakpastian masa depan.

3. Aspek Sarana Prasarana dan Lingkungan
Bencana ini juga berdampak buruk pada sarana prasarana masyarakat pasca Gunung meletus di Yogyakarta, seperti :
A. Lingkungan Pemukiman Masyarakat
a) Rumah hancur rata dengan tanah
b) Kecelakaan lalu lintas akibat jalan berdebu licin
c) Gedung-gedungpun hancur
d) Sawah dan ladang rusak dan tidak berfungsi
e) Aliran listrik mati
f) Aliran air rusak dan disfungsi
g) Hewan-hewan ternak mati
h) Tanaman dan pohon mati
i) Jalanan umum rusak, licin dan penuh bebatuan

B. Lingkungan Pengungsian
a) Gedung rumah pengungsian sangat tidak layak
b) Atap rumah bocor
c) Terbatasnya tempat tidur
d) Terbatasnya fasilitas MCK dan dapur
e) Terbatasnya pakaian dan makanan

4. Aspek Pendidikan
Meletusnya gunung Merapi juga berdampak pada pendidikan anak-anak. Sekolah mereka terbengkalai, seketika proses belajar terhenti karena sarana sekolah yang telah rata tanah. Namun, pemerintah tetap mencoba memperbaiki keadaan tersebut dengan mendirikan sekolah gabungan, dengan memanfaatkan gedung-gedung yang masih bisa dipakai. Itupun tidak sepenuhnya berjalan dengan efektif, karena anak-anak pengungsi yang belum bisa beradaptasi dengan suasana sekolah yang mereka tumpangi itu.
Bahkan, belum cukup kenal teman baru dan adaptasi saja mereka sudah harus dipindahkan lagi ke ‘sekolah’ lain. Nasib sejumlah murid terombang-ambing. Kondisi inilah yang membuat anak-anak bingung dan terpaksa menuruti aturan pemerintah.

5. Aspek Ekonomi
Masalah utama yang dialami para korban bencana dilihat dari aspek ekonomi adalah kehilangan mata pencaharian. Dan menurut seorang pengamat ekonom, para pengungsi letusan Gunung Merapi membutuhkan pengalihan lapangan pekerjaan karena lahan pertanian tidak dapat langsung digunakan kembali, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Bagaimanakah Relokasi dan Penanganan Korban Bencana Merapi?
    Manajemen penanganan bencana yang kurang terencana membuat pemetaan kawasan rawan bencana, pengungsi, lokasi pengungsian, tanggap darurat, dan mobilisasi alat berat kurang tepat.
   Menurut kelompok kami, alangkah baiknya pemerintah atau kepala koordinator penanganan bencana Merapi lebih merencanakan, memepertimbangkan mengenai relokasi pengungsi agar tidak menghasilkan keputusan yang gegabah. Coba perhatikan penanganan dari berbagai macam aspek, dari aspek budaya, sosial, ekonomi, dan geografi.
Apakah lahan yang direncanakan sudah berada di posisi aman?
Apakah lahan yang digunakan kapasitasnya mampu menampung jumlah pengungsi?

Apakah lahan yang direncanakan mampu membantu, memperbaiki dan menunjang matapencaharian masyarakat yang hilang?
Berapakah dana yang disediakan pemerintah?
Bagaimana konstruksi gedung pengungsian yang akan dibuat?
Bagaimana penataan antara gedung pengungsian satu dengan gedung pengungsian lainnya?
Bagaimanakah dampak sosial yang akan terjadi dari relokasi yang direncanakan?
Bagaimanakah dampak budaya yang dianut masyarakat terhadap relokasi bencana?
  Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sebaiknya diperbincangkan lebih dulu oleh pemerintah. Bencana yang terjadi diluar dugaan ini pastinya akan menimbulkan tindakan-tindakan gegabah dari pihak pemerintah, karena melihat kondisi warga yang panik dan menelan korban banyak, sehingga pemerintah memilih untuk membuat posko-posko dadakan dan seadanya yang padahal justru memunculkan banyak efek negatif bagi para pengungsi.
    Dilihat dari aspek sarana prasarana dan lingkungan, banyak ketidaktersediaan sarana-sarana primer yang sangat dibutuhkan oleh para pengungsi. Kondisi ruangan yang sempit dan berdesakan, kamar mandi yang terbatas dan tidak layak, dapur, makanan, pakaian, tempat tidur yang sedikit, akan memunculkan stress dan perasaan tertekan dari sisi psikologis mereka. Ditambah lagi bagi para pengungsi yang kehilangan sanak saudaranya, kondisi pengungsian yang tidak nyaman, apa-apa yang dibutuhkan tidak tersedia, stress dan kesedihan yang mendalam menyerang, dan kondisi kesehatan menurut hingga akhirnya sakit. Semua itu saling berkaitan satu sama lain.
    Menurut Psikologi Lingkungan, manusia itu memerlukan tempat tinggal yang aman, nyaman, dan memberika privasi, tempat kerja dan alat-alat yang memungkinkan manusia bekerja optimal. Namun berbanding terbalik bila kondisi lingkungan di lokasi pengungsian yang tidak memberikan keamanan dan kenyamanan tersebut.
  Alangkah baiknya, pemerintah mempertimbangkan secara lebih mendalam mengenai efek jangka panjang dari pembuatan posko dadakan yang tidak memberikan kepastian perubahan. Beri arahan yang bijaksana kepada masyarakat untuk relokasi bencana, karena akan banyak warga yang menolak untuk pindah dari rumahnya jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memberi pengarahan yang baik untuk masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda ini.
    Kondisi pengungsian yang padat dan penuh sesak membuat para pengungsi sulit beradaptasi, dan sulit berinteraksi secara optimal.
    Sekarang saatnya ciptakan kondisi pengungsian yang lebih baik agar jumlah pengungsi yang mengalami gangguan psikologis bisa menurun. Berikan tempat relokasi yang tepat, tepat lahannya, tepat posisinya, tepat pengeluaran dananya, tepat konstruksi bangunannya, tepat menyediakan sarana utamanya, dan mempunyai resiko kecil untuk terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti, perombankan ulang bangunan karena ternyata jarak tempat pengungsian dan daerah rawan benacana masih masuk area ‘awas’.
  Walau bagaimanapun, kita tidak bisa memisahkan aspek-aspek itu semua dalam melakukan relokasi kepada para pengungsi. Pertimbangan yang cepat dan tepat akan memperbaiki keadaan, dibandingkan asal menempatkan lokasi pengungsian.

Penanganan Korban Bencana Merapi secara Umum
    Terkait dengan hal-hal tersebut, masyarakat sebaiknya lebih mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Untuk meminimalisir dampat Merapi bagi kesehatan, sebisa mungkin patuhi batas lokasi aman yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan sedapat mungkin masyarakat mengurangi aktifitas-aktifitas fisik yang bisa membuat terhirupnya debu-debu akibat letusan. Bilaupn keluar rumah, gunakan makser dan pakaian yang tertutup. Lapor dan segeralah berobat ke fasilitas kesehatan terdekat jika sakit. Bila memang sudah mengidap penyakit kronik, maka segeralah hubungi dokter yang biasa menangani atau setidaknya mempersiapkan obat-obatan rutin yang biasa dikonsumsi. Jaga daya tahan tubuh, makan makanan bergizi dan bersih, serta cukup istirahat. Untuk pengungsi anak-anak sebaiknya jangan terlepas dari orangtua mereka, dan bagi anak-anak yang orangtuanya telah menjadi korban agar pemerintah mengambil alih pertanggungjawabannya.
    Dari segi psikologis, banyaknya relawan yang ikut serta membantu menyediakan jasa-jasa yang berperan untuk memulihkan psikologis korban bencana terutama anak-anak ini merupakan salah satu penanganan yang baik untuk dilakukan. Mendirikan posko-posko kesehatan di setiap pengungsian rupanya juga bermanfaat untuk membantu menstabilkan kejiawaan para pengungsi yang baru saja kehilangan sanak saudara, harta benda, pekerjaan, dan masa depan mereka. Alangkah baiknya psikolog-psikolog pun ikut andil dalam penanganan psikologis korban. Korban-korban yang mengalami stress, depresi, tertekan, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kelabilan, kejenuhan bahkan sampai yang mengalami kerusakan otak pun, dibantu dengan terapi-terapi psikologi.
  Perasaan kesepian ditengah keramaian pastilah terjadi. Apalagi bagi yang baru saja ditinggalkan, perasaan sendirian dan kesepian menjadi bagian yang mendominasi dari dirinya. Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang akrab dengan seseorang tidak tercapai (Peplau dan Perlman, 1981) timbul karena kehilangan, ditinggal pergi oleh orang yang disayangi, bahkan kematian. Sifatnya berupa perasaan dan subjektif. Maka dari itu, butuh motivasi dan pembangkit untuk korban-korban yang mengalami perasaan-perasaan seperti ini.
   Belum lagi anak-anak yang mengalami trauma dan ketakutan akibat bencana ini. Menurut Sigmund Freud, dalam tahap psikoseksual, apapun yang terjadi dimasa dewasa seseorang disebabkan oleh masa traumatik pada masa kanak-kanak. Sebisa mungkin para Psikolog meminimalkan bahkan menetralkan traumatik ini sedini mungkin, sebelum berdampak buruk bagi masa depan anak.
   Para relawan dan psikolog seyogyanya harus mempunyai emotional support yaitu ekspresi perasaan yang memperlihatkan adanya perhatian, simpati dan penghargaan terhadap orang lain. Emotional support juga mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain yang sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini erat hubungannya dengan kemampuan untuk memberikan afeksi dan empati. Dan kemampuan ini sangatlah dibutuhkan dalam membantu manangani psikologis korban bencana.
     Kembali lagi membahas mengenai penanganan yang baik untuk para pengungsi, yakni dengan asupan spiritual. Para relawan dan psikolog juga bisa membantu menjembatani proses ini dengan terapi-terapi yang dilakukan. Anjuran untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa merupakan jalan terbaik untuk memasrahkan keadaan yang dihadapi, untuk menengkan diri dan memperkuat keyakina bahwa setelah kejadian ini akan ada masa depan yang lebih baik lagi.
   Hiburan juga bisa dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kejenuhan pengungsi di posko-posko, seperti bermain permainan-permainan sederhana bersama anak-anak, mengadakan perlombaan dengan menyelipkan asuan-asupan motivasi kepada pengungsi. Motivasi adalah kecenderungan yang timbul pada seseorang untuk melakukan sesuatu aksi atau tindakan dengan tujuan tertentu yang dikehendakinya. Dengan motivasi, kita akan mengukur perilaku orang, bagaimana ia memberi perhatian, mengetahui relevansi antara motivasi dan kebutuhannya, kepercayaan dirinya dan hasil yang dirasakannya setelah ia melaksanakan motivasi.
Menangani mereka-mereka yang stress bagaimana?
    Gangguan-gangguan seperti yang dialami para pengungsi dapat disebut juga sebagai gangguan psikosomatik yang tidak terlepas dari berbagai stresor psikososial dimana setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga ia harus menyesuaikan diri dan menanggulangi segala perubahan yang timbul. Jenis-jenis stresor yang timbul misalnya: (1) stresor sosial seperti masalah pekerjaan, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah keluarga, hubungan interpersonal, perkembangan, penyakit fisik, masalah kekerasan rumah tangga (2) stresor psikis seperti perasaan rendah diri, frustasi., malu, merasa berdosa. (3) stresor fisis (panas, dingin, bising, bau yang menyengat, banjir) dan lain-lain.
   Mungkin ketidakpastian perubahan inilah yang menjadi masalah. “Sampai kapan begini terus?”. Namun kesediaan menolong tanpa pamrih dari para relawan, dan kegigihan serta ketulusan hati para relawan akan mampu menumbuhkan keyakinan dan kekuatan para korban untuk mau berusaha menata kehidupan yang baik lagi. Sifat menolong tanpa pamrih yang dilakukan relawan semacam ini disebut dengan Altruisme. Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Badson, Fortenbuch, dan Mc Carthy (1986) yang mengatakan bahwa tindakan prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si korban). Tanpa adanya empati, orang yang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberi pertolongan.
    Lain cerita mengenai kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat letusan Merapi. Sebaiknya ditindaklanjuti oleh pemerintah, karena ini menyangkut pengeluaran dana bencana yang dikelola oleh pemerintah. Penyediaan lahan untuk bekerja kembali, memberikan modal dengan tepat dan merata kepada pengungsi, dengan konsep yang matang.
   Apapun yang kini telah dan sedang terjadi, para pengungsi diharapkan bisa menjalani dengan ikhlas dan pasrahkan kepada Tuhan. Dampak yang ditimbulkan atas bencana ini memanglah besar, kita tidak bisa menolak, namun kita semua bisa merubahnya dan memperbakinya. Perencanaan yang terstruktur, kesabaran para korban, dan keinginan untuk berubah akan menjadi kekuatan besar untuk sebuah masa depan yang lebih baik. Dan bagi para pemerintah diharapkan agar lebih serius dalam menanggapi dan menangani masalah relokasi dan pembenahan tempat pengungsian serta mempertimbangkan efek jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil baik itu efek internal dan efek eksternal.